- Penundaan realisasi terhadap
penyelesaian pembayaran ganti rugi aset warga korban lumpur lapindo yang
direalisasikan sejak tanggal 26 Maret 2006 oleh PT. MLJ melakukan nilai jual beli dengan uang muka 20%. Penggatian tersebut memakan dana sebesar Rp 35.108.1000
dari total pembayaran ganti rugi aset warga korban lumpur sebesar Rp.
175.504.500.000.
- Adanya dugaan korupsi dana penggantian
lahan yang ditenggelamkan lapindo. Terdapatnya aksi mandi lumpur di gedung KPK,
sebagai simbolisasi bahwa kasus lumpur belum selesai, Padahal telah berlangsung
selama 7 tahun. Bahkan ada indikasi kecurangan pembayaran uang penggati yang
menjadi hak warga. Hal tersebut dari
adanya laporan dari warga yang mengatakan bahwa adanya oknum yang
menarik pungutan dari warga dengan alasan melancarkan proses pembayaran namun
warga menolak.
- "Meski
secara hukum Lapindo dinyatakan tidak bersalah, kita tetap menyelesaikan
pembayaran. Itu wujud rasa kemanusiaan dan atas amanat almarhumah Ibunda
Aburizal Bakrie," tegasnya. Andi mengatakan, pihak perusahaan berjanji
akan melunasi paling lambat akhir tahun 2013 ini. "Ya kita harap
kekurangan Rp 786 miliar ini bisa berakhir akhir 2013 mendatang," ujar
Andi, kepada suarasurabaya.net, Selasa (28/5/2013).
- Bosman
Batubara Geolog UGM mengatakan, keterlambatan pemerintah dalam menyelesaikan
masalah lumpur Lapindo Sidoarjo disebabkan tidak adanya definisi yang tepat
dalam memahami bencana yang terjadi. Selama ini, pemerintah memahami semburan
lumpur sebagai bencana teknologi saja. Padahal, bencana tersebut terjadi karena
meningkatnya kebutuhan produksi. “Yang terjadi di Sidoarjo bukanlah bencana
alam atau teknologi. Ini adalah bencana industri,” tegas alumni Jurusan Teknik
Geologi UGM ini dalam rilisnya yang diterima suarasurabaya.net, Selasa (28/5/2013).Bosman menjelaskan, bencana industri
bisa terjadi karena kesengajaan manusia yang tidak menaati prosedur keamanan
produksi. Dalam kasus lumpur Sidoarjo, kesalahan bermula dari kesengajaan PT
Lapindo Brantas untuk tidak memasang casing yang tepat pada sumur bor Banjar
Panji 1 (BPJ 1). Kesengajaan tersebut bisa jadi disebabkan oleh keinginan
menekan biaya produksi.
Masalah
tentang kejadian lumpur di porong
sidoarjo tersebut termasuk
pelanggaran HAM berat, yaitu kejahatan kemanusiaan. Dalam hal ini para korban
lumpur dilakukan adanya pengusiran secara paksa yang sangat melanggar HAM.
Permasalahan
kasus ini juga terdapat ketetapan MPR
No. XVII/MPR/1998. Yang mana di dalamnya memuat
yang mengatur tentang Hak asasi manusia, sebagai berikut :
a.
Hak
Hidup
Dari segi hak hidup
dapat dikatakan kasus lumpur lapindo ini melanggar HAM, karena atas kejadian
ini para korban berdampak pada kehidupannya seperti menghambat peningkatan
taraf kehidupan tergantung lingkungan yang tentram, aman dan damai, dan adanya
dampak atas lingkungan hidup yang tidak baik dan sehat.
b.
Hak
memperoleh Keadilan
Dari segi hak ini para korban
lapindo tidak mendapatkan perlindungan
jaminan dan pengakuan yang adil di depan hukum. Hal ini dapat dibuktikan
seperti selama ini para korban lumpur lapindo telah melakukan upaya gugatan
hukum kepada PT Lapindo Brantas untuk mendapatkan hak-hak atas kerugian yang di
alami para korban.
c.
Hak
Kesejahteraan
Dari sudut pandang hak
kesejahteraan, masarakat lumpur lapindo setelah ada peristiwa lumpur lapindo
tersebut para korban untuk sementara tinggal di gubuk-gubuk dan tenda-tenda pengungsian
yang kondisinya sangat memprihatinkan, seperti masalah kesehatan, pendidikan
yang terputus karena sekolahan mereka terendam oleh lumpur. Disisi lain banyak
penduduk yang kehilangan mata pencaharian yang selama ini menjadi penompang
hidup mereka.
d.
Hak
Asasi Ekonomi politik
Dalam kasus ini para
korban lumpur lapindo telah diambil hak
kepemilikannya. Hal tersebut di buktikan dengan tanah dan kepemilikan aset-aset
menyatakan disana yang terkena dampak daripada adanya kasus ini.
Dalam
kasus Lumpur Lapindo di Porong Sidoarjo dapat di kategorikan sebagai
pelanggaran HAM berat. Akan tetapi dalam hal ini KOMNAS HAM menolak anggapan
bencana tersebut merupakan suatu bentuk pelanggaran. Dengan demikian terdapat
perbedaan prepsepsi penilaian terhadap kasus Lumpur Lapindo tersebut. Hal ini terdapat sangkut pautnya, yaitu adanya suatu
kepentingan dan kekuasaan yang ikut serta di dalam penanganan kasus ini
sehingga menyebabkan ketidakpastian
status lumpur lapindo. Dalam kasus ini siapakah yang patut untuk disalahkan? Apakah
penanganan para korban menjadi tanggung jawab pemerintah atau tanggung jawab
dari PT. Lapindo Brantas. Padahal kasus lumpur lapindo yang sekarang ini menjadi
sorotan publik itu harus secepatnya segera terselesaikan, sebab hal ini mempunyai
dampak yang besar yaitu pada masa depan
para korban yang telah dirugikan. Hal ini dapat menunjukkan sisi lemahnya
ketidakpastian hukum dan juga tanggungjawab yang diharapkan para korban.
Pelanggaran
HAM berat ini sebenarnya sudah ditangani oleh berbagai pihak di antara lain
yaitu pihak PT. Lapindo sendiri maupun pemerintah dan pihak luar negri. Akan
tetapi tanggung jawab yang di berikan oleh pihak PT. Lapindo belum bisa
sepenuhnya membuat para korban tersebut hak-haknya terpenuhi. Padahal kasus ini
sudah berlansung selama 7 tahun lamanya.
Hal
ini dibuktikan dengan penderitaan korban lapindo yang tidak diperhatikan
kesejahteraan kehidupannya. Sebagian besar korban lumpur lainnya belum mendapatkan
pelunasan ganti rugi, memilih mendirikan gubuk untuk tempat tinggal di atas
tanggul penahan lumpur. Meskipun pemerintah sudah membantu dalam berbagai macam
hal termasuk bantuan dari segi materi ataupun fasilitas umum yang diberikan
masih saja belum mampu memenuhi kebutuhan para korban.
Kesimpulan
Dari
uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kasus lumpur lapindo ini merupakan kasus pelanggaran HAM berat. Kasus ini bukan
merupakan suatu kejadian bencana alam
akan tetapi merupakan bencana industri, yang mana peristiwa tersebut
mengakibatkan penderitaan warga masyarakat Porong Sidoarjo. Dalam hal ini masyarakat Porong secara tidak
langsung ditindas, dan sudah tidak
terhitung lagi kerugian yang dialami oleh korban lumpur dalam waktu tujuh tahun
ini. Apalagi proses ganti rugi yang dijanjikan oleh PT Lapindo Brantas belum
sepenuhnya selesai. Perluasan dampak dari lumpur Sidoarjo mengakibatkan para
korban harus berpindah secara terpaksa dari tempat tinggal mereka, disisi lain
peristiwa ini juga melanggar beberapa hak-hak para korban, diantaranya hak
hidup, hak memperoleh keadilan, keadilan kesejahteraan, hak ekonomi politik.
Saran
Untuk PT. Lapindo Brantas
Ø PT lapindo secepatnya harus
bertanggungjawab memenuhi janji-janji yang telah dijanjikannya yaitu menggati
rugi seluruh aset-aset kerugian yang dilalmi korban seperti tanah dan bangunan
yang tak kunjung jelas.
Ø PT. lapindo setidaknya memberikan kejelasan
status kepada para korban lupur lapindo agar korban tidak terlantar dan
memiliki tempat tinggal yang permanen dan layak huni agar supaya korban tidak
terkatung-katung.
Untuk pemerintah
Ø Pemerintah di harapkan memberikan
kebijakan-kebijakan yang dapat meringkankan korban dalam kasus ini. Yaitu
dengan memberikan jaminan kesehatan bagi para korban dan memberikan jaminan
pendidikan kepada anak dari korban yang putus sekolah akibat adanya kasus
tersebut. Pemerintah juga merevisi Perpes no 14 tahun 2007, agar PT. Lapindo
tanggung jawab atas penyelesaian dana ganti rugi korban Lumpur Lapindo.
Untuk KOMNAS HAM
KOMNAS HAM harus mengubah prepsepsi mengenai
kasus tersebut, bahwa peristiwa lumpur lapindo termasuk pelanggaran HAM. sehingga
diharapkan KOMNAS HAM dapat menegakan hak-hak yang seharusnya di dapatkan oleh
para korban lumpur lapindo.